Senin, 19 Mei 2008

Prestasi Besar Peradaban Manusia

Sekularisme telah muncul dua setengah abad silam. Tepatnya ketika masyarakat Eropa memutuskan untuk mengakhiri absolutisme agama dan konflik-konflik agama. Selanjutnya mereka memisahkan agama dari ruang publik dan menariknya ke dalam ruang privat. Namun bila diartikan secara longgar, sekularisasi sebenarnya sudah berlangsung sejak abad 5 SM, yakni ketika pemikiran argumentatif di Yunani melepaskan diri dari narasi mistis.
Ide sekularisasi adalah sebuah prestasi besar peradaban manusia. Ditariknya agama dari ruang publik terbukti mampu meminimalisir, kalau bukan menutup rapat konflik politik yang mengatasnamakan agama. Tapi sejarah panjang sekularisme dalam meredam konflik itu sekonyong-konyong ternodai oleh peristiwa robohnya menara WTC, 11 September 2002. “Peristiwa itu dapat dilihat sebagai permulaan era baru yang menyudahi era masyarakat sekular,”
Pakar filsafat menandaskan bahwa praktek sekularisme selama ini juga tak lepas dari masalah yang serius. Pemisahan agama dan politik yang selama ini dipraktekkan, rupanya juga menghasilkan pseudo-toleransi atau toleransi semu. Yang berlangsung hanyalah sekadar ’gencatan senjata’ antara agama dan politik.
Lalu bagaimana sekularisme mestinya dipahami? Agama di Ruang Publik; Menimbang Kembali Sekularisme. Sekularisasi atau sekularisme adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin saeculum, yang berarti zaman. Sementara kata saecularis berarti dunia. ”Dalam pengertian sosiolog Peter L. Berger, sekularisasi adalah proses melalui mana sektor-sektor dalam masyarakat dan kebudayaan dilepaskan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan,” Demikian Iones Rakhmat mengawali presentasinya.
Munculnya sekularisme di Barat, pada awalnya dipicu oleh problem absolutisme agama yang telah lama mencengkeram manusia. Sebelumnya, di Barat dan juga di belahan dunia lain, agama dan politik menyatu dalam kekuasaan negara yang begitu dominan. Agama itu politis dan politik itu religius. Dalam sistem kenegaraan semacam ini, hukum negara menjadi sakral. Dengan begitu, negara dianggap sah mengurusi kebenaran dan jalan keselamatan yang dipilihkan untuk rakyatnya.
”Atas nama Tuhan, suatu otoritas politik dianggap sah untuk mengawasi pikiran, keinginan, perasaan, dan iman individu,”. Akibatnya kebebasan individu dalam berpikir dan berkreativitas terpasung. Proses berpikir seringkali dimusuhi oleh negara yang non-sekular. Rasionalitas dianggap musuh iman dan senantiasa mengancam agama.
Perselingkuhan antara agama dan politik seperti itu tampaknya juga masih menjadi pemandangan umum di beberapa negara dewasa ini. Bahkan Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor sekularisme tak ayal juga mengalami apa yang oleh Talal Asad, antropolog Amerika, disebut sebagai politicized religions (agama-agama yang dipolitikkan). Politik gerakan keagamaan yang muncul di beberapa negara ini menandai bangkitnya gerakan fundamentalisme Yahudi di Israel dan Amerika, fundamentalisme Hindu di India, dan fundamentalisme Islam di banyak tempat.
Fenomena ini, oleh Ihsan Ali-Fauzi dinilai telah menggaggu dan mengguncang, bukan saja salah satu fondasi pokok teori sekularisasi, tetapi juga rumusan lama yang sederhana mengenai hubungan agama dan politik, yakni: pemisahan gereja dan negara. Ihsan dengan gamblang menyuguhkan dua model teori sekularisasi. Mengutip klasifikasi Gorski, Norris, dan Inglehart, ia mengelompokkan dua kubu besar dalam debat teori sekularisasi.
Pertama, Teori Sekularisasi Klasik. Dengan cukup sederhana, teori ini mengukur tingkat sekular atau tidaknya sebuah masyarakat lewat sejauh mana mereka terpengaruh oleh modernisasi. Menurut teori ini, semakin mengalami modernisasi suatu masyarakat, akan semakin kompleks penataan hidup mereka. Dengan itu, mereka akan semakin rasional dan individual, serta less religious.
Kedua, adalah Model Ekonomi Agama (REM). Dalam pandangan teori ini, vitalitas keagamaan berhubungan positif dengan kompetisi keagamaan, tapi berhubungan negatif dengan regulasi keagamaan. Artinya, semakin didominasi oleh sedikit gereja atau semakin diregulasi oleh negara, pasar dan perusahaan keagamaan akan makin lamban geraknya. Dengan itu pula, produknya pun akan buruk, disertai tingkat konsumsi keagamaan yang rendah. Sebaliknya, apabila agama dipisahkan dari regulasi negara, maka gerak laju perusahaan agama itu akan makin cepat dan justru mampu memproduksi pemikiran-pemikiran yang maju.
Tapi, meski sekularisasi menjadi pilihan terbaik negara modern saat ini, itu tidak berarti ia juga terhindar dari patologi. Menurut Franky, patologi sekularisasi muncul ketika sekularisasi yang ingin memisahkan agama dari negara—dengan tetap memberi hak hidup bagi agama—berubah menjadi paham yang berujung pada kebencian terhadap agama. Itulah salah satu jebakan sekularisasi. Tapi jebakan lain juga tak kalah mengerikannya: munculnya fundamentalisme agama yang disebabkan asumsi bahwa sekularisasi telah membenci agama.
Negara modern harusnya mampu mengantisipasi kedua jebakan di atas. Inilah yang dimaksud Franky dengan konsep pasca-sekularisme (post-secular), di mana masyarakat mampu berselancar dan belajar antara pemikiran yang sekular dengan pemikiran yang religius sekaligus.

Tidak ada komentar: